DAMPAK KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME
( KKN )
Korupsi
( bahasa latin: courruptio dari kata kerja corrumpere, yang bermakna busuk,
rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah
perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia telah menjadi penyakit sosial yang
sangat membahayakan kelangsungan kehidupan bangsa dari upaya mewujudkan
keadilan sosial, kemakmuran dan kemandirian, bahkan memenuhi hak-hak dasar
kelompok masyarakat rentan (fakir miskin, kaum jompo dan anak-anak terlantar).
Menurunnya tingkat kesejahteraan (menyengsarakan rakyat), kerusakan lingkungan
sumber daya alam, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hilangnya modal
manusia yang handal, rusaknya moral masyarakat secara besar-besaran bahkan
menjadikan bangsa pengemis merupakan cerminan dari dampak KKN.
Pada
umumnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan
menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan negara.
Selain itu, Korupsi merupakan bagian dari gejala sosial yang masuk dalam
klasifikasi menyimpang (negative), karena merupakan suatu aksi tindak dan
perilaku sosial yang merugikan individu lain dalam masyarakat, menghilangkan
kesepakatan bersama yang berdasar pada keadilan, serta pembunuhan karakter
terhadap individu itu sendiri. Makna korupsi, sebagai suatu tindakan amoral,
tidak memihak kepentingan bersama (egois), mengabaikan etika, melanggar aturan
hukum, dan terlebih melanggar aturan agama.
Kolusi
adalah suatu kerja sama melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara
penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan
atau Negara. Dan
Nepotisme adalah tindakan atau perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.
Nepotisme adalah tindakan atau perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.
Dalam
prakteknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sangat sukar bahkan hampir tidak
mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan
pembuktian-pembuktian yang otentik. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya
dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) ini merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai baik oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.
Tindakan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini merupakan produk dari sikap hidup satu
kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai
kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para
politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa
dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi
dimata masyarakat.
Dalam
konteks USDRP yang diinisasi Pemerintah dan Bank Dunia, KKN menjadi penyebab
rendahnya daya saing suatu daerah, terhambatnya proses pertumbuhan dan
pengembangan ekonomi lokal/daerah maupun semakin jeleknya kualitas dan
kuantitas layanan publik. Untuk itu, menjadi suatu kewajaran salah satu manual
UIDP yang dikembangkan oleh CPMU dengan dukungan Team Manajemen Konsultan UIDP
dan MTAS mengembangkan manual tentang Program Anti Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme yang dikenal Anti Corruption Action Plan/ACAP. Tentunya pengembangan
manual ACAP yang sedang disiapkan oleh Team Konsultan Tingkat Nasional tersebut
menjadi saksi bahwa Pemerintah dan Bank Dunia melalui USDRP serius untuk
membasmi pelaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) beserta benih-benihnya.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi
tumbuh subur pada suatu tatanan pemerintahan yang mengabaikan prinsip
demokratisasi dasar yakni transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan sumber daya publik. Dampaknya paling dirasakan oleh kelompok sosial
masyarakat rentan baik secara ekonomi maupun akses, selain itu tumbuh
kembangnya budaya dan relasi informal dalam pelayanan publik serta distrust
terhadap pemerintahnya. Hernando de Soto (1992) misalnya menyatakan.
“….terdapat perilaku rasional (rational choice) dari masyarakat untuk menjadi
“informal” secara ekonomis terhadap pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh
pemerintah. Munculnya perilaku rational choice masyarakat tidak terlepas dari
perilaku birokrasi yang selama ini dirasakan oleh masyarakat.” Barzelay (1982)
dalam ‘Breaking Through Bureaucracy’ menyatakan “ masyarakat bosan pada
birokrasi yang rakus dan bekerja lamban”
Bagaimana
bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka
tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah
kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah
tindakan pemberan
Bagaimana
bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka
tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah
kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah
tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif).
Perkara
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang banyak menimpa para pejabat, baik dari
kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya
mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak
tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga
melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati,
mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang
diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan
tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan
tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang
begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara pelaku korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN) di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean
goverment sebagai salah satu cita-cita reformasi.
Akibat
– akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini adalah :
- Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
- ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
- pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya
Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan,
ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber
negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusahaterutama perusahaan asing,
ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak
represif.
Berdasarkan
pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas
adalah sebagai berikut :
- Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
- Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
- Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
- Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi,hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara
umum akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah merugikan negara dan
merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional
seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Semangat
dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya
berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu
Komisi Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Harapan terhadap
produk-produk hukum diatas adalah praktek sebelum reformasi dapat dibawa kemeja
hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi
dapat menjadi suatu usaha preventif.
Namun
apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus
dimasa orde baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada
putusan hakim tapi lebih banyak yang diputuskan atau bahkan hanya sampai pada
penyidik dan Berita acara perkaranya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai
koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana hasilnya
setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama saja walaupun sebenarnya dimasa
presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap korupsi sudah
menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau disebut jalan ditempat.
Beberapa
kasus besar memang telah sampai pada putusan pemidanaan dan berkekuatan hukum
tetap. Tapi perkara korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) ini bukanlah monopoli
dari kalangan elit tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang
ditimbulkan sedikit. Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat mereka
bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan
kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang
berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan
dan bukan pencegahan (preventif). Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum
tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama.
Sehingga
menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa
diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan
kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi,
kolusi dan Nepotisme (KKN) ini akan semakin meningkat. Indonesia
merupakan negara yang berprestasi dalam hal korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
dan negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini. Bahkan yang lebih
menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa
Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu
yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi,
dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan
tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.
Muncul
pertanyaan apakah dimasukannya dua tindak pidana tadi hanya sebagai produk
untuk memuaskan masyarakat saja? Atau memang bertujuan melakukan pemberantasan
terhadap kolusi dan nepotisme yang telah masuk kedalam stuktur masyarakat dan
struktur birokrasi kita? Kenapa UU No.28/1999 tidak berjalan efektif dalam
aplikasinya? Apakah ada error criminalitation? Padahal proses pembuatan suatu
undang-undang membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi sia-sia bila tidak
ada hasilnya. Dimana sebenarnya letak kesalahan yang membuat tujuan tertib
hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban hukum.
Dizaman
dimana hukum positif berlaku dan memiliki prinsip asas legalitas yang bertolak
pada aturan tertulis membuat hukum dipandang sebagai engine solution yang utama
dalam mengatasi banyak permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun dalam
realitasnya ternyata hukum hanya sebagai obat penenang yang bersifat sementara
dan bukan merupakan upaya preventif serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat
merubah kebiasaan dan budaya negatif masyarakat yang menjadi penyebab awal
permasalahan.
Permasalahan
pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya
ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan
dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari
pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat
disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan
kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam
penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting
dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena
memungkinkan memutus mata rantainya.
Upaya
Penanggulangan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) :
- Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansipemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
- mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
- Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
- Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
- menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
- hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense ofbelongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasaperuasahaan tersebut adalah milik sendiri dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
Pada
akhirnya pemerintah mempunyai peran penting dalam penanganan Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN) ini sehingga bangsa kita bisa lebih menjadi lebih baik dan
lebih maju.
Artikel Terkait
+ komentar + 2 komentar
Pemerintah baru menangani satu perkara terhadap kejahatan negara yaitu Korupsi, hal ini terus digenjot, yang diharapkan akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Saya bertanya..... bagaimana dampak Kolusi dan Nepotisme?. Kedua kata tersebut belum mempunyai payung hukum untuk ditindak lebih lanjut. Perlu penanganan sesegerah mungkin karena tindakan korupsi seseorang berawal dari Kolusi dan Nepotisme.............
Pemerintah baru menangani satu perkara terhadap kejahatan negara yaitu Korupsi, hal ini terus digenjot, yang diharapkan akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Saya bertanya..... bagaimana dampak Kolusi dan Nepotisme?. Kedua kata tersebut belum mempunyai payung hukum untuk ditindak lebih lanjut. Perlu penanganan sesegerah mungkin karena tindakan korupsi seseorang berawal dari Kolusi dan Nepotisme.............
Posting Komentar