MODEL REFORMASI PELAYANAN PUBLIK
DI
S
U
S
U
N
OLEH
KELOMPOK :
1.MUHAMMAD
2.
ZULFIKAR
3.SYAFRIADI
JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga saya dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Lhokseumawe, Mei
2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I ( PENDAHULUAN)
1.1 Latarbelakang
1.2 Rumusan
masalah
1.3 Tujuan
penulis
BAB II (TINJAUAN PUSTAKA)
BAB III ( BEMBAHASAN)
3.1 Permasalahan
Pelayanan Publik
3.2 Pemecahan
Masalah
3.3 Salah satu contoh rendahnya
kualitas pelayanan public di Indonesia
BAB
VI (PENUTUP)
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Pelayanan publik pada dasarnya
menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka
pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan
oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun
pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan
reformasi publik (public reform) yang dialami negara-negara maju pada awal
tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan
kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.
Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga
telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Inpres No. 5
Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang
Usaha. Upaya ini dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan
Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan
mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang
Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat.
Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan No.
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.Oleh
karena saya membuat makalah ini dengan judul “ Model Reformasi Pelayanan Publik
” ,dan diharapkan agar kita lebih memahami tentang Model Reformasi Pelayanan
Publik tersebut.
1.2 Tujuan
Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Mengetahui tentang peranan dan kebijakan pelayanan publik kepada
masyarakat
2. Mengetahui tentang perubahan kualitas pelayanan publik
pemerintah birokrasi
1.3 Rumusan Masalah
Penulis mengambil masalah ini
dengan rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana peranan dan kebijakan pelayanan publik dalam masyarakat
2. Bagaimanakah kualitas pelayanan publik pemerintah birokrasi kepada
masyarakat sehingga dapat memuaskan masyarakat tersebut?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pelayanan publik
diibaratkan sebagai sebuah proses, dimana ada orang yang dilayani, melayani,
dan jenis dari pelayanan yang diberikan. Sehingga kiranya pelayanan publik
memuat hal-hal yang subtansial yang berbeda dengan pelayanan yang diberikan oleh
swasta. Pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh pemerintah
dalam rangka memenuhi segala kebutuhan masyarakat, sehingga dapat dibedakan
dengan pelayanan yang dilakukan oleh swasta (Ratminto, 2006).
Sebagai
contoh adalah pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang diberikan oleh pihak
kepolisian dan dimonopoli oleh satu pihak. SIM tidak boleh dikeluarkan oleh
lembaga lain termasuk swasta. Sehingga pelayanan yang seperti itu dengan ciri
dimonopoli oleh pemerintah disebut pelayanan publik.
Namun,
dalam perjalanannya ternyata pelayanan publik menemui berbagai macam rintangan
yang menghadang. Salah satunya adalah paradigma birokrasi yang cenderung untuk
minta dilayani ketimbang melayani. Hal tersebut mengakibatkan berbagai
persoalan (Singgih Wiranto,2006) seperti berbelit-belit, tidak efektif dan
efisien, sulit dipahami, sulit dilaksanakan, tidak akurat, tidak transparan,
tidak adil, birokratis, tidak profesional, tidak akuntabel, keterbatasan
teknologi, keterbatasan informasi, kurangnya kepastian hukum, KKN, biaya
tinggi, polarisasi politis, sentralistik, tidak adanya standar baku dan
lemahnya kontrol masyarakat. Sedangkan telah terjadi pergeseran paradigma
pelayanan publik dimana rakyat atau warga Negara adalah focus dari pelayanan.
Pelayanan
publik sendiri terdiri dari berbagai bentuk pelayanan yang diberikan oleh
Negara. Pelayanan publik dapat berupa pelayanan di bidang barang dan jasa
(Ratminto,2006). Pelayanan dibidang jasa seperti penyediaan bahan baker minyak
yang dilakukan oleh Pertamina, dan beras yang diurus oleh Badan Usaha Logistik
(BULOG). Sedangkan dalam porsi jasa dapat berupa jasa perizinan dan investasi
yang sekarang ini sedang marak untuk dikaji dan diperbincangkan oleh berbagai
kalangan, baik itu akademisi maupun praktisi.
Kenapa
investasi bisa semakin marak? Mengingat Indonesia adalah Negara kaya namun
kurang mendapatkan tempat dihati para investor. Hal tersebut terbukti
dengan peringkat Indonesia yang masih diatas seratus dalam kategori pro
investasi karena proses yang panjang.
Dengan
diberlakukannya pelayanan satu tempat atau One Stop Service (OSS)
apakah telah dapat memperbaiki kualitas pelayanan terhadap perizinan. Seperti
yang kita ketahui bahwa dengan adanya sistem OSS tersebut tidak serta merta
masalah pelayanan perizinan yang berbelit-belit dan panjang akan terhapus. Hal
tersebut dikarenakan beberapa alasan.
1. terkadang isntitusi-institusi yang
digabungkan dalam dalam satu kantor bukan berarti pemangkasan birokrasi. Publik
harus tetap melalui meja-meja yang “sama” dengan sbelumnya. Bedanya jika dulu
“meja-meja” lokasinya berbeda sekarang “jadi satu kantor “.
2. Orang-orang yang berada dikantor pelayanan
satu atap yang “mewakili” institusinya tidak memiliki kewenangan yang cukup
untuk menetapkan keputusan yang mendesak dalam hal pelayanan. Sehingga
lagi-lagi si “publik” harus menunggu atasan “pelayan” dikantor tersebut, dalam
memeberikan keputusan. Sehingga kantor inipun gagal mencapai tujuan awal yaitu
efisiensi (Indiahono,2006).
Dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa OSS saja tanpa memaknainya malah akan menambah masalah bagi
daerah terutama untuk Banyumas. KPPI sendiri adalah sebuah badan untuk meng-acc hal-hal
yang telah dibuat oleh dinas atau badan lain.sebagai contoh (Suara Merdeka,2005)
adalah pada tahun 2005 Pertumbuhan investasi di Banyumas beberapa tahun
terakhir ini tergolong pesat. Pada tahun ini sampai Juni lalu, investasi di
sektor perdagangan, jasa, dan properti dari investor lokal dan luar daerah yang
bergulir Rp 64 miliar.
Angka itu dihitung
berdasar pengajuan izin gangguan lingkungan ke Kantor Pelayanan Perizinan dan
Investasi (KPPI) serta telah mengantongi SIUP dari Dinas Perdagangan dan
Perindustrian serta Dinas Koperasi dan UKM. Dengan adanya pelayanan yang sangat
banyak untuk mendirikan usaha seperti contoh di atas dalam hal ini berarti OSS
belum bias maksimal mengingat beberapa pelayanan masih di urusi oleh
dinas/kantor/lembaga lain selain KPPI.
Persoalan pun bukan
hanya itu saja, melainkan masih banyak yang harus dibenahi karena untuk menjadi
yang terbaik harus dimulai dari kita sendiri dalam hal ini inisiatif dari dalam
lembaga. Komitmen dari KPPI sendiri menjadi sebuah makanan yang
harus ditelan dan dicerna. Komitmen tersebut dapat dilihat dari kesesuaian
antara peraturan dan kondisi lapangan. Banyak dari dinas/kantor/lembaga
pemerintah yang mengindahkan hal tersebut. Akhirnya kepastian waktu
penyelesaian dan biaya menjadi tidak jelas.
Hal seperti itu harus
diantisipasi sejak dini mengingat rakyat masih membutuhkan pelayanan yang baik
yang diberikan oleh pemerintah karena pemerintah memonopoli pelayaan yang
menyangkut rakyat banyak. Komitmen dalam melayani telah berhasil dibuktikan
oleh pemerintah Kabupaten Purbalingga yang mendapat sertifikasi ISO 9001:2000
yang merupakan manajemen mutu pelayanan (Suara Merdeka,2006). Dapatkah
pemerintah Banyumas menerapkan sistem yang sama atau malah lebih hebat dari
Purbalingga? Kita tunggu aksinya.
Sebuah
alternative yang dapat dilakukan untuk berbenah bagi KPPI adalah penggunaan
sebuah sistem yang menggunakan partisipasi masyarakat sehingga pelayanan akan
berada pada dua arah. Antara pelanggan dan yang melayani. Dalam berbagai
referensi sistem itu disebut Citizen Charter atau Service
Charter.
Istilah Citizen
Charter (CC)atau kontrak pelayanan pertama kali diperkenalkan oleh
Osborne dan Plastrik (1997). Citizen Charter (CC) adalah
standar pelayanan yang ditetapkan berdasarkan aspirasi dari pelanggan, dan
birokrasi berjanji untuk memenuhinya. Citizen Charter (CC)
merupakan sebuah pendekatan dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang
menempatkan pengguna layanan atau pelanggan sebagai pusat perhatian. Dalam hal
ini, kebutuhan dan kepentingan pengguna layanan harus menjadi pertimbangan
utama dalam proses pelayanan (AG. Subarsono,2006)
Dengan
kontrak pelayanan berarti ada sebuah komitmen antara pelanggan dan yang
melayani. Dalam hal ini akan ada sebuah kesepakatan baik itu mengenai
pelayanan, prosedur, waktu penyelesaian, maupun biaya yang ditanggung oleh
pelanggan. Dengan demikian ada sebuah kesepahaman antara hak dan kewajiban dari
masing-masing pihak.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Permasalahan Pelayanan Publik
Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan
dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas
sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya
(tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan.Dilihat dari sisi
pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan
antara lain:
a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan,
mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan
tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi,
maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
b. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada
masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
c. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan
masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan
tersebut.
d. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat
kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun
pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan
lain yang terkait.
e. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan
dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan
penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian
masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk
dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan
masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka
menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat
sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk
diselesaikan.
f. Kurang mau mendengar
keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan
kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari
masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada
perbaikan dari waktu ke waktu
g. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan
perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.
Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya
adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empathy dan etika.
Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu
dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat.
Dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada
disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan
kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi
berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk
melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan,
masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan
publik menjadi tidak efisien.
3.2. Pemecahan Masalah
Tuntutan masyarakat pada era repormasi terhadap pelayanan publik
yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah
sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan di atas
sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan
untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Penetapan Standar Pelayanan. Standar pelayanan memiliki
arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan
suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu
kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan
masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan
yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi
pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan,
analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan.
Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang
harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu
mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan
adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya
manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan
ditanganinya.
2. Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP). Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara
konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP,
maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan
dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara
konsisten. Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal:
• Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi
tugas menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain dapat
menggantikannya.Oleh karena itu proses pelayanan dapat berjalan terus;
• Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai
dengan peraturan yang berlaku;
• Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran
terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan;
• Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan
perubahan-perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan;
• Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian
pelayanan;
• Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan
yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses
pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain, bahwa semua petugas yang terlibat
dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan tangungjawab yang jelas;
3. Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan. Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu
mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan
oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan
pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia
pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survey
kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan
publik;
4. Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan. Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi
upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga
pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh
karena itu perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara dapat
efektif dan efisien mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan
masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan; Sedangkan dari sisi makro,
peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan
model-model pelayanan publik. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat pelayanan
publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara privateuntuk menghasilkan kualitas
yang baik. Beberapa model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain:contracting
out, dalam hal ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu
proses lelang, pemerintah memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini pemerintah
menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang
diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum. Dalam banyak hal pemerintah juga
dapat melakukan privatisasi.
Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu
didukung adanya restrukturisasi birokrasi, yang akan memangkas berbagai
kompleksitas pelayanan publik menjadi lebih sederhana. Birokrasi yang kompleks
menjadi ladang bagi tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan.
3.3 Salah satu contoh rendahnya
kualitas pelayanan public di indonesia
·
Keluhan dan Kritik terhadap Birokrasi
HASIL PENELITIAN UGM
Agus Dwiyanto bersama
sejumlah dosen Universitas Gadjah Mada bisa di bilang mampu mengupas birokrasi
Indonesia secara lengkap di bandingkan dengan penulis lain di Indonesia. Dalam
kesimpulannya mereka menulis antara lain:
Kinerja
pelayanan public di kega provinsi, yaitu daerah istimewa Yogyakarta, Sumatra
barat, dan Sulawesi selatan sebagaimana di tunjukan oleh penelitian itu masih
sangat buruk. Kendati penyelenggaraan pelayanan di ketiga daerah itu tidak
merepresentasikan kinerja pelayanan publik di Indonesia, Karena penyelenggaraan
pelayanan publik antar povinsi
dikabupaten jauh berbeda, temuan yang di peroleh penelitian ini
setidak-tidaknya memberikan indikasi mengenai masih rendahnya kualitas pelayanan
public di Indonesia. Penelitian ini membuktikan bahwa birokrasi publik di
Indonesia belum mampu menyelenggarakan pelayanan public yang efisien, adil,
responsif, dan akntabel.
Kenyataan tersebut
sungguh memprihatinkan.Maka mereka memberikan sejumlah rekomendasi yang
dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Perlu
dibangun nilai dan budaya baru.
2. Perlu
diciptakan lingkungan baru, terutama berkaitan dengan trasnparasi dan
pemberantasan KKN.
3. Perlu
diterapkan costumer charter dalam birokrasi pelayanan public.
4. Perlu
dipkirkan pengembangan kemitraan antara pemerintahan dan masyarakat, termasuk
dunia usaha
5. Perlu
dipikirkan “penggunanan misi birokrasi kriteria untuk menilai tindakan seorang
pejabat pemerintahan dan birokrasi”.
Dari uraian di atas
jelas bahwa perbaikan kinerja pelayanan public di Indonesia memerlukan
kebijakan yang holistic. Pemerintah di tuntut keberanian dan kemampuannya untuk
bias mengembangkan kebijakan reformasi birokrasi yang holistic dan
melaksanakannya secara konsisten. Hanya dengan cara ini,reformasi birokrasi di
Indonesia akan dapat menghasilkan sosok birokrasi yang benar-benar mengabdikan
dirinya pada kepentingan public dan menghasilkan pelayanan public yang
efisien,resfonsif,dan akuntabel.
BAB VI
PENUTUP
A.Kesimpulan
Arah baru atau model
reformasi birokrasi perlu dirancang untuk mendukung demokratisasi dan
terbentuknya clean and good governance yaitu tumbuhnya pemerintahan yang rasional, melakukan
transparansi dalam berbagai urusan publik, memiliki sikap kompetisi antar departemen dalam
memberikan pelayanan, mendorong tegaknya hukum dan bersedia memberikan
pertanggungjawaban terhadap publik (public accountibility) secara teratur.
Reformasi adalah
mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada.
Reformasi bertujuan mengoreksi dan membaharui terus-menerus arah pembangunan
bangsa yang selama ini jauh menyimpang, kembali ke cita-cita proklamasi.
Reformasi birokrasi penting dilakukan agar bangsa ini tidak termarginalisasi
oleh arus globalisasi. Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi,
seperti presiden dalam suatu negara atau menteri/kepala lembaga pada suatu
departemen dan kementerian negara/lembaga negara, sebagai motor penggerak
utama.
Tujuan reformasi
birokrasi: Memperbaiki kinerja birokrasi, Terciptanya good governance, yaitu
tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, Pemerintah yang bersih
(clean government), bebas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan terhadap
masyarakat.
B. Saran
·
Penerapan model reformasi pelayan publik dalam sistem Pemerintahan
yang sekarang diterapkan belum mencapai
hasil yang diharapkan. Perilaku birokrasi dan kinerja Pemerintah belum dapat mewujudkan keinginan dan pilihan
publik untuk memperoleh jasa pelayanan yang memuaskan untuk meningkatkan
kesejahteraan.
·
Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik oleh Pemerintah dalam hal ini dapat dilakukan dengan berbagai
strategi, diantaranya : perluasan institusional dan mekanisme pasar, penerapan
manejemen publik modern, dan perluasan makna demokrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, Agus. 2003. Reformasi Pelayanan Publik: Apa yang harus dilakukan?, Policy Brief. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
Atep Adya Brata. 2003. Dasar-dasar
Pelayanan Prima. Jakarta: Gramedia.
Lembaga Administrasi Negara. 2003.
Jakarta: Penyusunan Standar Pelayanan Publik. LAN.
Ttamin, feisal. reformasi birokrasi.
jakarta:blantika,2004
Dwiyanto, Agus, dkk., reformasi birokrasi public di Indonesia. Yogyakarta:
UGM press, 2006
Qodri azizy, abdul. Change management dalam reformasi
birokrasi. jakarta: gramedia, 2007
Artikel Terkait
+ komentar + 1 komentar
assalamualaikum akhi izin copy makalah nya yaa :)
Posting Komentar