HAL-HAL
YANG MEMBATALKAN WUDHU
Wudhu adalah salah
satu  syarat yang harus  dipenuhi sebelum  melakukan shalat, sangat bergantung  kepada wudhu ‘ disamping syarat-syarat
lainnya. Oleh sebab itu, masalah wudhu’ ini supaya diperhatikan benar, sehingga
shalat  dikerjakan tidak sia-sia.
Mengenai hal-hal
yangmembatalkan wudhu,’ terdapat perbedaan 
pendapat para ulama mujtahid.para ulama itu mempersoalkan:
A.   
KELUAR SESUATU DARI DUA JALAN
Keluar  sesuatu dari dua jalan(qubul = kemaluan dan
dubur = pelepasan), seperti buang air kecil, buang air besar, keduar mazni,
angin dan lain-lain.
Sebagai dalilnya  adalah firman Allah:
……atau kembali dari
tempat buang air……..(an-Nisa’: 43)
Rasullah SAW. Bersabda:
Allah tidak menerima
sholat seseorang apabila dia berhadats( keluar sesuatu  dari salah satu dari qubul atau
dubur).sebelum dia berwudhu’(HR. Muttafaq Allah).
Berkenaan
dengan ini seorang laki- laki  dari
Hadramaut bertanya, apakah yang dimaksud dengan hadats ya  Abu Hurairah? Jawabnya:” Keluar angin dan
bersuara dan keluar angin tampa suara. Dengan demikian walaupun angin yang
keluar, harus berwudhu.’
Nabi
juga memerintahkan berwudhu kepada wanita-wanita yang sedang istihadhah
(semacam darah penyakit pada tiap-tiap 
akan sholat,  dan tidak usah
mandi.  
a.       Menurut  Imam Hanafi, apapun yang keluar dari qubul
dan dubur, membatalkan wudhu, baik yang biasa maupun yang tidak biasa (
benda-benda yag tertelan yang bukan makanan, kemudian keluar melalui dubur).
b.      Menurut
Malikiyah, bahwa mani yang biasa keluar tanpa rasa nikmat tidak diwajibkan
mandi, dan hanya membatalkan wudhu. Berbeda dengan Hanafiyah,Syafiah dan
Hanabilah,tetap wajib mandi.(sebenarnya masalah ini ada kaintannya dengan
masalah mandi wajib yang berhubungan juga dengan sholat, boleh atau
tidak).Malikiyah  juga berpendapat bahwa
batu kecil, ulat, cacing, darah dan nanah (yang bercampur dengan darah atau
tidak), yang keluar dari qubul dan dubur tidak membatalkan wudhu dengan
ketentuan, batu kecil (batu ginjal), ulat dan cacing itu berasal dari dalam
perut. Namun apabila batu atau ulat itu tidak berasal dari dalam perut, seperti
tertelan umpamanya, kemudian keluar melalui dubur, membatalkan wudhu.
c.       Syafi’iyah
berpendapat bahwa keluar mani tidak sampai membatalkan wudhu, apakah keluarnya
terasa nikmat atau tidak. Namun mandi wajib, harus dilaksanakan sebab yang
mewajibkan mandi salah satunya adalah keluar mani.
d.     
Hanabilah berpendapat bahwa Apabila
seseorang terus menerus berhadats, seperti air kencing terus menerus atau
sebentar-sebentar menetes, tidak membatalkan wudhu, asal setiap shalat
melakukan wudhu. 
Setelah
memperhatikan alasan-alasan  yang
dikemukan sdi atas, penulis lebih cenderung 
kepada hanafiyah (ihtiyath) dan pendapat Hanafiyah  dalam keadaan terus-menerus  berhadats. Alasan lain ialah, semua yang keluar  dari 
qubul dan dubur (terutama) sudah bercampur dengan najis, walaupun angin
sekalipun. Sebagaimana diketahui, angin yang keluar  dari tubuh kita, ada yang melalui dubur,qubul
(tidak dapat dirasakan), mulut dan hidung. Apa sebabnya angin  yang keluar  melalui 
mulut dan hidung  tidak
membatalkan wudhu’ sedangkan yang melalui dubur 
membatalkan wudhu’? Jawabannya ialah, karena keluarnya melalui najis.
B. Hilang akal
Hilang akal bisa disebabkan gila,
ayan, pingsan, mabuk, minum arak, minum obat tidur atau tidur nyenyak sehingga
hilang kesadaran seseorang.
Mengenai hilang akal karena gila,
pingsan dan mabuk telah sepakat ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hanabilah, membatalkan wudhu, karena seseorang tidak tahu apakah ia berhadats
atau tidak, seperti keluar angin dan sebab-sebab lainnya yang membatalkan
wudhu.
Mereka berbeda pendapat, mengenai
orang yang tidur apakah batal wudhu atau tidak.
a. Hanafiyah berpendapat bahwa tidur
itu sendiri tidak membatalkan wudhu,§ akan tetapi tidur dapat membatalkan wudhu dalam tiga hal:
1. Tidur dengan berbaring miring
2. Tidur telentang di atas
punggungnya
3. Tidur di atas salah satu pangkal
pahanya
Wudhu seseorang menjadi batal,
apabila dia tidur seperti yang disebutkan di atas
“Sebagai dasarnya
adalah Sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya wudhu’
tidak wajib kecuali  bagi orang yang
tidur dalam keadaan berbaring, maka menjadi lunaklah (ruas-ruas) persendiannya”
(HR. Abu Daud, Tarmidzi dan Ahmad)
Hanafiyah menyamakan
(menqiyaskan), tidur berbaring dengan tidur terlentang  dan tidur diatas salah satu pangkal paha,
karena persendiannya lunak, tidak  dapat
mengontrol, apakah dia buang angina atau tidak.Kemudian mereka mengatakan
wudhu’ seseorang  tidak batal, sekiranya
dia tidur duduk tegak tidak bergeser 
dari tempat duduknya, sejak dari mulai tidur sampai terjaga. Hal ini
didasarkan keyakinan, bahwa persendian 
tidak merenggang  yang
memungkinkan  dia berhadast(buang angin).
b. Malikiyah
berpendapat bahwa tidur dapat membatalkan wudhu, apabila seseorang tidur
nyenyak, baik sebentar maupun lama, baik orang yang tidur itu dalam keadaan
berbaring atau duduk atau sujud.  Wudhu
itu tidak batal,apabila seseorang tidur tidak nyeyak  (tidur ringan) baik sebentar  maupun lama.Apabila dia tidur lama(walaupun
tidak nyeyak), disunatkan berwudhu’. 
Seseorang dianggap tidur nyenyak  apabila dia 
tidak lagi mendengar suara di sekitarnya.
c.Syafiyah berpendapat
bahwa wudhu’seseorang menjadi batal apabila orang  itu tidak  mantap duduk tempatnya. Apabila duduknya
mantap, tidak bergeser dan tidak renggang, maka wudhunya tidak batal. Namun
sekiranya orang itu miring, terlentang atau renggang tempat duduknya  karena kurus umpanya, wudhunya jadi
batal.Menurut Syafiiyah wudhu  seseorang
tidak batal sekiranya  hanya sekedar mengantuk
saja dan suara  di sekitar masih
didengarnya, walaupun tidak dapat memahaminya dengan sempurna.
d. Hanabilah
berpendapat bahwa wudhu seseorang menjadi, apabila dia tidur dalam  keadaan bagaimana sekalipun.
Berbeda apabila orang
itu tidur sebentar menurut ukuran ‘urf (kebiasaan) dan dengan kententuan pula,
dia tidur dalam keadaan duduk dan berdiri.
Menurut hemat penulis,
terlepas dari pendapat manapun yang dianut, sebaiknya kita berwudhu saja,
apabila kita tertidur, apakah nyeyak atau tidak,apakah lama atau sebentar.
Dengan demikiankita terhindar  darii
keragu-raguan dalam melaksanakan ibadah. Apalagi air cukup banyak di Indonesia
ini. Berbeda tentu, sekiranya  kita uzur
memakai air  atau mungkin pada suatu
ketika terbatas persedian air,dapat bertayamum. 
B.     Bersentuhan
laki-laki dengan perempuan
Sentuhan dalam bahasa Arab disebut …….dan
……. 
Oleh Syafi’iyah dan Hanabilah kedua
istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama. Berbeda dengan Haafiyah dan
Malikiyah, kedua istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri.
a.      
 Hanafiyah berpendapat, bahwa persentuhan kulit
laki-laki dengan perempuan, tidak membatalkan wudhu.
Hanafiyah mendasarkan mazhab mereka kepada salah satu hadits
dari Aisyah:
Rasullah mencium sebagian istri-istrinya lalu shalat tampa
wudhu’ lagi (HR.Ahmad dan empat Ahli Hadits).
Juga  berdasarkan
hadits Aisyah:
“Sesungguhnya Rasullah SAW, menciumnya dan saat itu beliau
sedang berpuasa lalu beliau bersabda:’Ciuman itu tidak membatalkan wudhu’ dan
tidak pula membatalkan puasa.”(Dikeluarkan oleh Ishak bin Rahawaih dan Bazzar).
Dalam hadist lain 
dari Aisyah disebutkan:
Artinya: “Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Lalu saya mencarinya dan
kebetulan tangan saya menyentuh   telapak
kaki yang tegak karena beliau sedang (sujud) di mesjid” (HR. Muslimin dan Tarmidzi).
Mengenai firman
Allah  dalam surat an-Nisa’:43 yang
berbunyi:
(atau jika kamu
menyentuh wanita)
Maksudnya adalah
“bersenggama,” kata kiasan dari:                     (sentuh
menyentuh).pengertian ini diriwayatkan 
dari Ali ‘Ubaid Abass. Berdasarkan berita yang terima dari Ubaid bin
Humaid, bawha  Ibnu Abbas  menafsirkan kata dalam ayat tersebut dengan
“bersenggama = bersetubuh”.
b.     
Malikiyah berpendapat, bahwa 
Malikiyah
berpendapat, bahwa apabila seseorang menyentuh orang lain dengan tangannya atau
dengan anggota badan lainnya, maka wudhunya batal dengan beberapa syarat.
Sebagian syarat itu berhubungan dengan orang yang menyentuh dan sebagian lagi
berhubungan dengan orang yang disentuh.
Persyarat
bagi yang menyentuh adalah, dia sudah baligh dan bermaksud untuk merasakan
kenikmatan atau ada rangsangan salam dirinya. Wudhu  seseorang juga menjadi  batal, apabila dia merasakan nikmat sesudah
terjadi sentuhan  yang tidak di sengaja.
Orang yang disentuh itu wudhunya menjadi batal.apabila kulitnya disentuh tampa
ada batas penghalang seperti kain, ataupun batasnya ada tetapi terlalu tipis.
Jika batas penghalang tebal, wudhu tidak menjadi batal, kecuali sebagian anggota
badanya dipegang dan mendapat  kenikmatan
sesudah dipegang tampa sengaja ada rangsangan atau kenikmatan.Persyaratan
lainy, bagi ya disentuh,adalah orang   yang
dapat mengundang syahwat atau ada rangsangan, bersentuhan dengan gadis kecil,
tidak membatalkan wudhu.’
Demikian
juga wudhu’ tidak menjadi batal, bila menyentuh wanita tua  yang tidak mengundang syahwat. Sekiranya
sentuhan itu dapat  merangsang ataupun
mengundang syahwat, maka menyentuh rambut pun wudhu menjadi batal.
Jadi
yang menjadi persoalan inti mazhab malik ini adalah ada rangsangan (syahwat),
baik bagi yang menyentuh maupun yang disentuh.
c.      
Syafiiyah, menyentuh kulit lawan jenis
yang bukan mahram termasuk yang membatalkan wudhu` secara mutlak,walaupun tidak
merasakan nikmat. Apakah laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia atau masih
muda. Orang golongan Syafiiyah,dikatakan,wudhu penjadi batal,apabila sentuhan
itu langsung dengan kulit, dan tidak ada batas penghalang seperti kain, Syafiiyah
mengecualikan, bahwa menyentuh rambut kuku dan gigi tidak membatalkan wudhu’.
Demikian
juga menyentuh wanita  yang haram
dinikahi untuk selama-lamanya (mahram) 
karena ada hubungan nasab (keturunan) 
atau susuan atau karena pernikahan, tidak membatalkan wudhu ‘. Sedangkan
wanita yang tidak haram dinikahi selama-lamanya, apabila menyentuhnya, maka
wudhu’ menjadi batal, seperti saudara perempuan dari istri (ipar perempuan),
saudara perempuan dari pihak  ayah atau
ibu istri.
Menurut
Syafiiyah , wudhu, juga menjadi batal, apabila seseorang  menyentuh mayat, karena golongan ini tidak
melihat  dari segi, ada rangsangan,
syahwat atau rasa nikmat sebagaimana golongan 
Malikiyah.Golongan Syafiiyah 
memandang sama pengertian “al-massu dan al-massu” sebagaimana telah
dikemukakan terdahulu.
d.     
Hanabilah berpendapat, bahwa wudhu
seseorang menjadi batal, apabila bersentuhan laki-laki dengan wanita disebabkan
ada syahwat dan tidak ada batas penghalang. Golongan ini tidak membedakan
antara wanita mahram dan bukan mahram (ajnabiyah= orang lain), hidup atu mati,
muda atau tua, besar atau kecil. Dalam banyak hal antar Syafi’iyah dan
Hanabilah dalam persoalan ini adalah sama, seperti menyentuh kuku, rambut dan
gigi, tidak membatalkan wudhu. Ada satu hal yang mendasari perbedaan pendapat
antara keduanya yaitu mengenai “mahram”.Syafiiyah mengatakan tidak batal wudhu’
vila menyentuh mahram. Sedangkan Hanabilah mengatakan batal wudhu’seseorang
bila bersentuhan dengan wanita walaupun dengan mahramnya, seperti ibunya,
ataupun saudara perempuannya sendiri.
Apabila
kita perhatikan pendapat keempat golongan tersebut diatas, maka golongan
Hanabilah amat ketat pendiriannya, karena dengan haram pun bila bersentuhan,
membatalkan wudhu’. Sebaliknya pendapat 
yang longgar  adalah pendapat
Hanafiiyah sebagaimana kita lihat pada uraian diatas.
            Kendatipun pendapat Hanafiyah
kelihataannya longgar tetapi pada saat kita melakukan ibadah haji,( thawaf)’
maka pendapat inilah  barangkali yang
dapat menghindarkan kita  dari kesulitan,
karena sukar menghindar dari persentuhan laki-laki dan wanita pada saat thawaf
itu.
            Bagi orang yang berpegang teguh  kepada Syafiiyah, tentu ada alasan darurat
………………
Kesukaran
itu membolehkan (hal-hal) yang terlarang.
            Kemudian bila kita perhatikan
pendapat malikiyah dan Hanabilah (walaupun amat ketat), maka juga banyak
kebenarannya. Sebab, pula saat ini kita lihat dan perhatikan  dalam masyarakat ada orang yang tidak
mengenal  batas tua  dan muda, dalam kaitannya dengan
rangsangan  dan syahwat pada diri
seseorang. Apabila kita lihat ada terjadi pelecehan seksual terhadap
mahram  dan anak di bawah umu, baik
laki-laki maupun wanita.
            Bila hal semacam kita kaitkan dengan
ibadah (wudhu) maka factor 
rangsangan  atau syahwat  ini perlu direnungkan  agar kita memasuki  shalat dan ibadah  yang memerlukan wudhu’, sudah siap dengan
wudhu yang benar dan baik.
.D Menyentuh kemaluan
Menyentuh kemaluan sendiri dan
kemaluan orang lain terdapat perbedaan pendapat.
a.      
Hanafiyah berpendapat, bahwa
menyentuh kemaluan, tidak membatalkan wudhu apakah menyentuh kemaluan sendiri
atau orang lain. Mereka berpegang kepada hadits yang artinya:
Seorang bertanya kepada Nabi: “ Saya
menyentuh kemaluan saya sendiri atau katanya seseorang menyentuh kemaluannya
sewaktu shalat, haruskah ia berwudhu? Nabi menjawab, “Tidak, sesungguhnya ia
(kemaluan) adalah bagian dari tubuhmu” (HR.Lima Ahli Hadits dan dinyatakan
shahih oleh Ibnu Hibban).
Kemudian hadits berikutnya,
bertentangan dengan hadits di atas yang berbunyi
Artinya : “Siapa saja yang menyentuh
kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR.Lima Ahli Hadits dan dinyatakan shahih
oleh Ibnu Hibban).
Golongan Hanafiyah memahami hadits
tersebut dari segi bahasa, bahwa pengertian: فليتوضأ adalah membersihkan
(membasuh) tangannya.
Golongan
Hanafiyah memahami hadits tersebut dari segi bahasa, bahwa pengertian: فليتوضأ
adalah membersihkan (membasuh) tangannya. Kemudian bagaimana halnya dengan
menyentuh kemaluan orang lain, apa dasar membolehkannya? Atau  tidak membatalkan wudhu’? Sebagai
dasarnya  adalah sama dengan alasan
bersentuhan kulit laki-laki dan wanita pada uraian  terdahulu.
b. Malikiyah berpendapat, bahwa
seseorang yang menyentuh kemaluan wudhunya batal dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Orang itu menyentuh kemaluannya
sendiri.
2. Orang itu sudah balig.
3. Sentuhan itu tanpa batas
penghalang.
4. Sentuhan itu dengan bagian dalam
telapak tangan, atau bagian tepi telapak tangan, atau bagian dalam jemari, atau
bagian tepi jemari atau ujung jari tangan.
Golongan Malikiyah, tidak
mempersoalkan, apakah sentuhan itu merasakan nikmat atau tidak, asal sudah
memenuhi ketentuan di atas, wudhu menjadi batal. Malikiyah  memandang , wudhu ‘ tidak  batal bila seseorang menyentuh duburnya  atau pelirnya 
atau wanita menyentuh kemaluannya atau memasukan jari-jarinya kedalam
kemaluannya.
c.      
Syafi’iyah berpendapat, bahwa
menyentuh kemaluan sendiri dan orang lain, membatalkan wudhu, bahkan menyentuh
kemaluan mayat pun membatalkan wudhu. 
Sebagai
dasarnya adalah hadits
‘”Siapa
saja laki-laki yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu”’.(HR,Lima
Ahli Hadist)
Sabda
Rasullah:
“Siapa saja laki-laki yang menyentuh
kemaluannya, hendaklah ia berwudhu, dan siapa saja wanita yang menyentuh
kemaluannya hendaklah ia berwudhu.” (H.R. Ahmad). 
Sebagaimana telah dijelaskan pada
uraian dahulu, bahwa menyentuh wanita tanpa pengahalang batas, membatalkan
wudhu. Menyentuh kemaluan tentu sudah termasuk pengertian di atas, baik
menyentuh kemaluan anak kecil maupun orang mati.
Hendaknya diingat bahwa pengertian
“farj” dalam hadits di atas adalah “qubul dan dubur”. Dengan demikian,
menyentuh dubur pun membatalkan wudhu.
d.     
Hanabilah pendapat mereka sama
dengan Syafi’iyah, dan yang berbeda adalah sentuhan dengan belakang telapak
tangan pun membatalkan wudhu, sedangkan Syafi’iyah sentuhan dengan telapak
tangan bagian dalam, membatalkan wudhu, dengan belakang telapak tangan tidak.